Oleh M. Mukhsin Jamil
http://mukhsinjamil.blog.walisongo.ac.id/2013/12/20/islam-moderat
Saya ingin mengawali pembicaraan mengenai pentingnya meneguhkan Islam moderat untuk Indonesia yang demokratis dan berkeadilan, dengan tiga persoalan dan argumen dasar.
Pertama, dewasa ini ada dua kecenderungan dasar kehidupan masyarakat Muslim yaitu kecenderungan kepada radikalisme literalis dan liberalisme sekluarlis. Kecenderungan pertama tampak pada kalangan umat Islam yang bersikap ekstrim dan ketat dalam memahami hukum-hukum agama dan mencoba memaksakan cara tersebut dengan menggunakan kekerasan di tengah masyarakat Muslim. Sedangkan kecenderungan kedua bisa dilihat pada sikap longgar secara ekstrim dalam kehidupan beragama dan tunduk pada perilaku dan pemikiran yang asing bila dilihat dari pertumbuhan tradisi Islam.
Kedua, Islam merupakan agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Oleh karenanya dapat dipastikan dinamika kehidupan masyarakat Islam sangat menentukan wajah dan masa depan Indonesia. Kemajuan atau kemunduran, demokrasi dan keadaban bangsa Indonesia ini sangat banyak tergantung pada bagaimana masyarakat Islam Indonesia menampilkan kehidupan keislaman, baik pada domain kehidupan pribadi, keluarga maupun pada domain kehidupan publik.
Ketiga, Usaha untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis dan berkeadaban memerlukan landasan religiokultural yang mendorong kemajuan sekaligus respek terhadap realitas Indonesia multikultural. Perlu disadari kembali bahwa meskipun sebagai agama mayoritas, agama Islam tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia yang multikultural. Di negeri ini berbagai agama, tradisi, hadir, hidup, tumbuh dan berkembang. Islam itu sendiri kemudian menjadi bagian dari wajah multikultural Indonesia itu.
Persoalan pertama terkait dengan hubungan antara Islam dan modernitas, sedangkan persoalan yang kedua terkait dengan hubungan antara keislaman dan keindonesiaan dan masalah yang ketiga terkait dengan kemajemukan budaya akibat kemajuan dan Globalisasi. Dengan berdasar pada masalah di atas maka saya mengembangkan hipotesis bahwa Islam moderat adalah jembatan antara agama, tradisi dan (Islam) dan modernitas. Islam moderat juga jembatan antara Keislaman dan keindonesiaan. Dari sudut keilmuan Islam moderat adalah paradigma pemikiran dan praksis keislaman di tengah Globalisasi yang menyuguhkan kemajemukan budaya akibat intensitas hubungan antar bangsa.
A. Islam Moderat: Landasan Teologis dan Ontologis
Saya menggunakan istilah Islam moderat dalam pengertian yang menerobos pembagian sekte seperti Sunni dan Syi’ah. Sebagaimana kecenderungan ekstrim (tatharuf, ghuluw) yang bisa ada pada kelompok Sunni maupun Syi’ah, demikian juga Islam moderat ada pada kedua kelompok tersebut. Sebagaimana diungkapkan Abou El-Fadl (2005:27), orang-orang Sunni bisa puritan atau moderat sesuai kriteria dan karakteristik khusus sebagaimana dengan Syi’ah. Seorang Sunni puritan cenderung meyakini ide-ide yang sama dan sampai pada kesimpulan-kesimpulan sebagaimana dimiliki seorang Syi’ah puritan. Hal serupa menurut Abou El-Fadl berlaku bagi Syi’ah dan Sunni moderat. Mereka yang disebut sebagai orang moderat sebenarnya digambarkan secara beragam sebagai kelompok modernis, postradisionalis, progresif dan reformis.
Dalam bahasa Arab modern, padanan untuk kata moderat atau moderasi adalah wasath atau wasathiyyah. Makna kata wasath atau al-wasathiyyah adalah adil, baik, tengah dan seimbang (Faris, I: 522). Istilah mutawassit kadang-kadang juga dipakai untuk menerjemahkan kata moderat. Islam moderat, dalam bahasa Arab modern, disebut sebagai al-Islam al-wasat, sedangkan moderasi Islam diungkapkan dengan frasa wasatiyyat al-Islam.
Iistilah ‘Islam moderat’bukanlah tanpa konsep dan landasan. Justeru, istilah itu muncul dengan dasar atau landasan teologis dan ontologis. Istilah Islam moderat ialah bagian dari ajaran Islam yang universal. Istilah Islam moderat memiliki padanan dengan istilah Arab ummatan wasathan atau al-din al-wasath. Allah berfirman “Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik) agar kalian menjadi saksi (syuhada’) bagi semua manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (syahid) juga atas kalian.” (Q. S. Al-Baqarah:143). Umatan wasathan dalam ayat tersebut berarti “golongan atau agama tengah”, tidak ekstrim.
Kata “wasat” dalam ayat di atas, jika merujuk kepada tafsir klasik seperti al-Tabari atau al-Razi, mempunyai tiga kemungkinan pengertian, yakni: umat yang adil, tengah-tengah, atau terbaik. Ketiga pengertian itu, pada dasarnya, saling berkaitan. Yang menarik, konsep wasath dalam ayat itu dikaitkan dengan konsep lain, yaitu syahadah, atau konsep kesaksian. Jika kita ikuti makna harafiah ayat itu, pengertian yang kita peroleh dari sana adalah bahwa umat Islam dijadikan oleh Tuhan sebagai umat yang wasat (adil, tengah-tengah, terbaik), karena mereka mendapatkan tugas “sejarah” yang penting, yaitu menjadi saksi (syuhada’) bagi umat-umat yang lain.
Apa yang dimaksud dengan tugas “kesaksian” dalam ayat itu? Saksi atas apakah? Tak ada keterangan yang detil mengenai hal ini dalam ayat tersebut. Tetapi, jika kita rujuk beberapa tafsir klasik, apa yang dimaksud dengan kesaksian di sini adalah tugas yang dipikul umat Islam untuk meluruskan sikap-sikap ekstrem yang ada pada dua kelompok agama pada zaman ketika Quran diturunkan kepada Nabi, yaitu golongan Yahudi dan Nasrani.
Tafsir al-Tabari, misalnya, menyebut bahwa umat Islam dipuji oleh Tuhan sebagai umat yang tengah-tengah karena mereka tidak terjerembab dalam dua titik ekstrim. Yang pertama adalah ekstrimitas umat Kristen yang mengenal tradisi “rahbaniyyah” atau kehidupan kependetaan yang menolak secara ekstrim dimensi jasad dalam kehidupan manusia (seperti dalam praktek selibat). Yang kedua adalah ekstrimitas umat Yahudi yang, dalam keyakinan umat Islam, melakukan distorsi atas Kitab Suci mereka serta melakukan pembunuhan atas sejumlah nabi.
Muhammad Abduh, melalui muridnya Rashid Rida, mengemukakan pendapat yang sedikit berbeda. Dalam tafsirnya yang masyhur al-Manar, Abduh mengemukakan bahwa apa yang dimaksud dengan wasath ialah sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrim. Yang pertama, materialisme yang ekstrim yang dianut oleh kalangan al-jusmaniyyun, yakni mereka yang hanya memperhatikan aspek jasmani atau badan saja, mengabaikan dimensi rohaniah dan spiritual dalam kehidupan manusia. Yang kedua, spiritualisme yang ekstrim yang hanya memperhatikan dimensi rohaniah belaka, tanpa memberikan perlakuan yang adil terhadap dimensi jasmaniah. Kelompok yang menganut pandangan ini, oleh Abduh, disebut sebagai al-ruhaniyyun.
Bagi Ali Syariati, pembaharu Islam di Iran, dan Buya Hamka, al-din al-wasath berarti Islam berada di tengah antara esoterisme Kristiani dan eksoterisme Yahudi. Sementara ahlil tafsir, Quraisy Shihab menegaskan, bahwa “Umatan Wasathan” dalam surah al-Baqarah ayat 143, maksudnya adalah umat moderat yang posisinya berada di tengah, yang bisa dilihat oleh semua pihak, dan dari segenap penjuru.
Sebagai istilah untuk penggolongan corak pemikiran dan gerakan istilah “Islam moderat” diperlawankan dengan istilah lain, yaitu Islam radikal. Islam moderat, dalam pengertian yang lazim kita kenal sekarang, adalah corak pemahaman Islam yang menolak cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh kalangan lain yang menganut model Islam radikal. Tawfik Hamid (2010), seorang mantan anggota kelompok Islam radikal dari Mesir, al-Jamaah al-Islamiyyah, mendefinisikan Islam moderat sebagai, “a form of Islam that rejects… violent and discriminatory edicts” (Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi). Menurut Hakim di dalam Islam memang ada beberapa hukum yang bisa “disalah-gunakan” untuk membenarkan tindakan terorisme atau kekerasan secara umum. Sebagai contoh adalah hukum tentang jihad yang banyak digunakan untuk melakukan tindak kekerasan dengan berbagai ekspresi seperti perang dan teror. Bagi Hakim, Islam moderat sebagai antitesis Islam radikal adalah model Islam yang menolak kekerasan semacam itu.
Pengertian Islam moderat juga dirumuskan oleh Dr. Moqtedar Khan dalam blog Ijtihad (www.ijtihad.org). Dr. Khan juga memperlawankan istilah Islam moderat terhadap Islam radikal. Perbedaan antara keduanya, menurut dia, adalah bahwa yang pertama lebih menekankan pentingnya prinsip ijtihad dalam pengertian yang lebih luas, yaitu kebebasan berpendapat (dengan tetap bersandar pada sumber utama dalam Islam, yaitu Quran dan Sunnah), sementara yang kedua lebih menekankan konsep jihad (perang suci).
Dari uraian di atas dapat dilihat pengertian kata wasath saat ini mempunyai pergeseran jauh. Sekarang, istilah itu bukan lagi dimaknai dalam kerangka superioritas Islam atas agama-agama lain, tetapi justru dipahami sebagai kritik internal dalam diri umat Islam sendiri. Umat Islam, dalam tafsiran Abduh, adalah umat yang “wasat”, moderat, karena mengambil sikap tengah antara materialisme dan spiritualisme. Dengan kata lain, istilah “wasat” dalam ayat di atas, baik dalam pemahaman penafsir klasik seperti al-Tabari (w. 923) dan al-Razi (w. 1209), atau penafsir modern seperti Muhammad Abduh (w. 1905), dipahami dalam kerangka konsep keunggulan umat Islam atas umat-umat yang lain, terutama Yahudi dan Kristen. Rahasia keunggulan itu terdapat dalam sikap umat Islam yang mengambil jalan tengah antara dua titik ekstrem yang mencirikan baik kalangan Kristen atau Yahudi. Istilah “wasat”, dengan demikian, berkaitan dengan konsep superioritas Islam atas agama-agama lain. Istilah itu, sekarang, diperlawankan terhadap corak Islam lain yang ekstrem dan radikal, yakni corak keagamaan yang membenarkan penggunaan kekerasan dalam dakwah.
Perkembangan ini menarik kita cermati karena ciri ekstrimitas yang semula melekat pada golongan lain di luar Islam seperti dimengerti dalam tafsiran klasik di atas, ternyata bisa dijumpai dalam kalangan Islam sendiri. Hal ini juga memperlihatkan bahwa sebuah konsep dalam Quran, seperti kata “wasath” itu, dipahami secara dinamis dari waktu ke waktu. Perubahan konteks sejarah dan tantangan dalam tubuh umat Islam sendiri membuat pemahaman penafsir Quran tentang sejumlah konsep dalam kitab suci itu berubah secara lentur. Pergeseren ini juga memperkuat keharusan bagi umat Islam untuk meneguhkan posisinya sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an untuk menjadi umatan wasatha (umat yang moderat.
B. Prinsip-Prinsip Islam Moderat
Berdasarkan penyelidikan terhadap pemikiran dan gerakan Islam yang memperjuangkan moderasi Islam maka saya menemukan paling tidak sembilan prinsip yang melandasi Islam moderat:
1. Al-Qur’an sebagai Kitab Terbuka
Al-Qur’an merupakan pedoman yang sangat sentral dalam kehidupan umat Islam. Dalam pengertian tekstualnya Al-Qur’an adalah korpus teks suci resmi dan tertutup. Artinya teks Al-Qur’an tidak akan berubah sejak masa diturunkan sehingga akhir zaman. Akan tetapi dari sudut penafsiran Al-Qur’an adalah kitab yang terbuka yang telah menghasilkan korpus-korpus tafsir, hasil kegiatan penafsiran umat Islam sesuai dengan keadaan dan perkembangan zaman. Dalam arti sebagai kitab terbuka Al-Qur’an meniscayakan penafsiran terus menerus yang akan menghasilkan makna baru yang lebih hidup guna menyelesaikan problem kemanusiaan. Dalam pengertian ini Islam moderat memandang Al-Qur’an sebagai kitab terbuka. Islam moderat menolak pandangan Al-Qur’an sebagai kitab tertutup yang memunculkan pemahaman terhadap Al-Qur’an yang bersifat tekstualistik, yaitu pemahaman mengenai Islam yang semata-mata mempertaruhkan segala-galanya pada bunyi atau huruf-huruf teks (nash) keagamaan.
Prinsip Al-Qur’an sebagai kitab terbuka juga didasarkan pada suatu pandangan bahwa kehidupan manusia selalu berubah, sementara teks-teks keagamaan terbatas. Ajaran Islam berisikan ketentuan-ketentuan tang tetap (tsawabit) dan sekaligus berisi hal-hal yang memungkinkan untuk berubah (mutaghayirat) sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu.
2. Keadilan
Konsep sentral Islam adalah tauhid dan keadilan. Keadilan merupakan ruh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan, keadilan dianggap oleh ahli ushul fiqh sebagai tujuan Syari’at. Dalam konteks ini Islam lebih dari sekedar sebuah agama formal. Islam merupakan risalah yang agung bagi transformasi sosial, pembebasan, dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi. Semua ajaran Islam pada dasarnya bermuara pada terwujdunya suatu kondisi kehidupan yang adil.
3. Kesetaraan
Islam berada di garda paling depan membawa bendera kesetaraan (al-musawah) harkat dan martabat manusia. Kesetaraan mengandaikan adanya kehidupan umat manusia yang menghargai kesamaan asal-muasalnya sebagai manusia dan kesamaan pembebasan dimana setiap manusia dikarunia akal untuk berfikir. Kesetaraan merupakan landasan paradigmatik dalam meneguhkan visi Islam moderat. Salah satu misi dasar Islam adalah menghancurkan sistem sosial yang diskriminatif, dan eksploitatif terhadap kaum yang lemah.
4. Toleransi
Islam moderat juga dicirikan oleh keterbukaan terhadap keanekaragaman pandangan. Sikap ini didasari oleh kenyataan bahwa perbedaan di kalangan umat manusia adalah sebuah keniscayaan (Q.S Al-Kahfi: 29). Sesuai dengan sunatullah, perbedaan antar manusia akan terus terjadi. Oleh karena itu pemaksaan dalam berdakwah kepada mereka yang berbeda pandangan, baik dalam satu agama maupun berbeda agama, tidak sejalan dengan semangat menghargai perbedaan yang menjadi tuntunan Al-Qur’an.
5. Pembebasan
Agama sejatinya diturunkan ke bumi untuk mengatur dan menata kesejahteraan manusia (limashalih al-ummat). Oleh karena itu agama semestinya dipahami secara produktif sebagai sarana transformasi sosial. Segala bentuk wacana pemikiran keislaman tidak seharusnya tidak menampilkan agama sebagai sesuatu yang menakutkan. Sebaliknya pemikiran itu dilakukan dalam rangka membebaskan akal, dan perilaku dan etika yang dapat membentuk kesalehan sosial. Pemikiran dan perilaku keagamaan tak akan mampu membebaskan jika agama sendiri menjelma menjadi kekuatan tiran yang membelenggu pemeluknya. Oleh karena itu sudah semestinya agama dijadikan sebagai kekuatan kritik, dan bukan sebaliknya, anti kririk. Dengan meletakkan agama sebagai kekuatan kritik, maka agama menjadi instrumen yang membebaskan manusia dari cengkeraman penindasan struktur sosial, politik dan budaya yang tidak adil.
6. Kemanusiaan
Dalam pandangan Muslim moderat, Sejak awal kehadirannya, Islam memperlihatkan tekad yang besar dalam upaya membangun masyarakat yang adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pandangan Islam moderat, Al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia secara keseluruhan telah mendapat kemuliaan (takrim) dari Allah SWT, tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan sebagainya (QS. Al-Isra: 70). Mengutip Ali Asghar Engineer (1999), sejak masa kelahurannya Islam mempunyai misi untuk menyelamatkan manusia, dan menghidupkan keadilan dalam bentuknya yang paling konkrit. Islam merupakan kekuatan Ilahiah untuk membebaskan manusia dari kondisi-kondisi ketidakadilan dan kezaliman. Sayangnya kini prinsip ini kini terkubur oleh praktek-praktek keberagamaan yang ritualistic dan radikal.
7. Pluralisme
Sebagaimana ditunjukkan oleh namanya, Islam adalah agama damai dan menyukai perdamaian. Dalam kerangka perdamaian itu Al-Qur’an memandang fakta keanekaragaman agama sebagai kehendak Allah, sebagaimana juga Nabi Muhammad sebagai seorang rasul dari sebagian rasul yang di utus kepada umat manusia. Perbedaan agama terjadi karena perbedaan millah yang dianut oleh Islam, Kristen dan Yahudi. Din atau agama berasal dari sumber yang sama yaitu Tuhan, sedangkan millah atau syari’at yang dibawa para Nabi itu berbeda-beda.
8. Sensitifitas gender
Islam diturunkan oleh Allah sebagai penuntun (hadi), pembawa kabar gembira (basyir) dan pembawa peringatan (nadzir) bagi umat manusia. Dengan fungsi ini Islam mengakibatkan perubahan cara pandang pemelauknya terhadap perempuan. Islam mendeklarasikan kesamaan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan. Berkaitan dengan sensitifitas Islam terhadap isu-isu gender ini umat Islam memiliki segudang masalah. Berseberangan dengan misi dasar Islam untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan, sebaliknya sebagian umat Islam justru menggunakan justifikasi agama untuk melanggengkan disparitas laki-laki dan perempuan. Praktek poligami yang dilakukan semuanya sendiri misalkan merupakan contoh penggunaan legitimasi agama untuk melanggengkan diparitas laki-laki dan perempuan itu.
9. Non diskriminasi
Sejak awal kehadirannya Islam secara tegas menentang penindasan, peminggiran dan ketidakadilan. Praktek teladan Nabi di Madinah dengan membangun kesepakatan mengenai hak dan kewajiban yang sama diantara kelompok-kelompok suku dan agama menunjukkan kesetaraan dan non diskriminasi adalah prinsip sentral dalam Islam. Melalui prinsip kesetaraan dan non diskriminasi diantara elemen masyarakat itulah Nabi membangun tatanan masyarakat yang sangat modern dilihat dari ukuran zamannya.
C. Metodologi Islam Moderat
Sebagaimana telah diuraikan di atas Ada beberapa hal yang melatarbelakangi keharusan untuk penguatan Islam moderat. Kemunculan Islam moderat ini, diantaranya adalah bahwa wacana pembaharuan dalam Islam yang didominasi oleh pemikiran dikotomik mengenai realitas kehidupan keberagamaan, yaitu dikotomi antara tradisi dan pembaharuan (tradisi dan modernitas), atau dalam bahasa al-Jabiri al-Turats wa al-Hadatsah.
Muhammad al-Jabiri Menunjukkan adanya dua sikap umat Islam yang saling bertentangan dalam melihat tradisi di tengah modernitas, yakni: 1). mereka yang menolak apa saja yang bukan dari tradisi Islam, karena apa yang ada dalam tradisi Islam dianggap sudah lengkap dan memadai. 2). mereka yang menganggap sebaliknya, yakni tradisi sama sekali tidak memadai dalam kehidupan modern saat ini, oleh karena itu harus di buang jauh-jauh karena dianggap sebagai realitas yang bertentangan dengan modernitas.
Sikap pertama adalah tradisionalisme (yang berpegang teguh pada tradisi) dengan segala manifestasinya, baik dari level ideologis, intelektual maupun komunitas sosial politiknya dianggap sepi dari dinamika dan pergulatan, bahkan anti perubahan. Dari sinilah kemudian, pilihan pada modernisme dianggap sebagai satu-satunya pendorong perubahan. Tetapi pada hemat saya, alih-alih hendak melakukan perubahan pemikiran dan praktek keberagamaan, modenisme pada akhirnya justru menjadi wacana ideologis, serta dominasi nalar yang terkesan a historis.
Islam moderat berpandangan bahwa sesungguhnya tidak mungkin melakukan rekonstruksi pemikiran dan kebudayaan dari ruang sejarah yang kosong. Artinya, betapapun kita begitu bersemangat untuk melampaui zaman -yang sering disebut sebagai kemunduran umat Islam- kita mesti mengakui bahwa khazanah pemikiran dan kebudayaan yang kita miliki adalah kekayaan yang sangat berharga untuk dikembangkan sebagai entry point untuk merumuskan tradisi baru. Muhammad Abid al-Jabiri menyuguhkan satu pandangan bahwa salah satu persoalan krusial bagi proyek kebangkitan kembali Islam adalah bagaimana menyikapi tradisi (turats) yang telah diwariskan dari generasi-ke generasi sepanjang sejarah.
Muhammad Abid Al-Jabiri maupun Muhhammad Arkoun, menawarkan telaah kontemporer (qira’ah mu’ashirah) terhadap tradisi. Telah kontemporer ini yang kemudian dirumuskan sebagai kritik nalar (naqd al-aql), yang diajukan untuk mengganti metode penelaah lam atas tradisi yang telah berkembang, tetapi tidak menghasilkan tradisi baru dalam dunia Islam.
Berkaitan dengan upaya rekonstruksi tradisi ini, terdapat beberapa pilihan pendekatan yakni:
Pertama, pendekatan eklektisisme (al-qira’ah alintiqaiyah). Pendekatan ini menghendaki adanya kolaborasi antara orisinalitas (al-ashalah) dan modernitas (al-mu’ashirah). Dalam rangka membangun “teori analisa tradisi” ini juga diupayakan untuk menyingkap rasionalitas dan irasionalitas dalam tradisi. Singkatnya, pendekatan ini berpendapat bahwa menguraikan dan memetakan tradisi yang rasional dan irasional merupakan cara terbaik untuk menyikapi tradisi. Tokoh pendekatan ini antara lain Fahmi Jad’an dan Zaky Naqueb Mahmud.
Kedua, pendekatan revolusioner (al-qira’ah al-tatswiriyah). Pendekatan ini menghendaki untuk mengajukan proyek pemikiran baru yang mencerminkan revolusi dan liberalisasi pemikiran keagamaan. Lalu posisi tradisi dijadikan sebagai starting point untuk menghidupkan kembali elan revolusi. Proyek-proyek seperti “dari tradisi menuju revolusi” (min al-turats ila al-tsaurah) yang digagas Thayed Tizini, kemudian “dari aqidah menuju revolusi” (min al-aqidah ila al-tsaurah) ala Hasan Hanafi, lalu “dari absolutisme menuju relativisme” (min al-tsabit ila al-mutahawwil) yang digagas Adones, adalah sederet proyek-proyek pemikiran yang mewakili sayap ini. Pendekatan kedua ini, sebagaimana ditunjukkan oleh Hasan Hanafi, mengusulkan tiga cara dalam melihat tradisi dan pembaruan, yaitu: 1). menganalisa pembentukan dan latar belakang tradisi, 2). mengamati pembekuan dan pensakralan tradisi, dan kemudian 3). mencermati bagaimana tradisi tersebut berlawanan dengan kemaslahatan umum.
Mula-mula yang dilakukan dalam melihat, mengamati, dan menganalisa tradisi adalah dengan menggunakan metode historis yang bertujuan untuk menguraikan pembentukan tradisi. Setelah itu, kemudian melakukan rekosntruksi tradisi untuk menemukan tradisi baru, lalu mengupayakan fungsionalisasi tradisi baru untuk transformasi sosial, bukan untuk kajian ilmiah belaka. Pergulatan dengan tradisi, demikian menurut Hasan Hanafi, hanya sekedar mengambil domain tertentu saja, sedangkan yang terpenting adalah mewujudkan interpretasi liberalis, demokratis, sosialis dan progresif dalam rangka menghadapi pemahaman keagamaan konservatif dan totalitarianistik.
Ketiga, pendekatan dekonstruktif (al-qira’ah al-tafkikiyah). Pendekatan ini berusaha membongkar tradisi secara komprehensif hingga menyentuh ranah metodologis. Pendekatan ini bahkan mengkaji tradisi berdasarkan epistemologi terkini, seperti post strukturalisme dan post modernisme. Beberapa tokoh sayap ini misalnya Muhammad Abid al-Jabiri dengan proyeknya “trilogi nalar Arab”, Muhammed Arkoun dengan “kritik nalar Arab”, Nashr Hamid Abu Zaid dengan “tekstualitas al-Qur’an”, juga Ali Harb dengan proyek “dekonstruksi Teks dan Kebenaran”.
Sayap ketiga, sebagaimana diperagakan oleh al-Jabiri misalnya, berusaha mencari pengganti dua metode yang telah ada sebelumnya (tradisional dan orientalis) dan berusaha untuk mencapai obyektifitas (maudhu’iyah) semaksimal mungkin di satu sisi, dan menemukan kesinambungan (istimraiyah) dengan tradisi kaum muslim di masa kini pada sisi yang lain. Langkah pertama yang dilakukan adalah memisahkan yang dibaca dari pembacanya (fashl al’maqru an al-qari). Sedangkan langkah kedua adalah dengan cara menghubungkan pembaca dengan yang dibaca (washl al-qari ba al-maqru). Dengan cara demikian diharapkan akan ditemukan pembaruan berdasarkan otentitas (al-ashalah), yakni suatu ijtihad yang tetap berpijak pada kesinambungan dengan tradisi, tanpa harus terbenam dalam tradisi itu sendiri. Singkatnya, yang dilakukan pembaca adalah rekosntruksi sekaligus fungsionalisasi atau pengambilan manfaat (al-tawzhif wa al-istmirar).
Kritik nalar juga menjadi perhatian sayap ketiga ini, karena kondisi Islam sebenarnya merupakan hasil dari nalar berpikir atau epistemologi pemikiran Islam. Dalam hal ini kaum dekonstruksionis seperti al-Jabiri menunjukkan kerangka umum dari berbagai epistemologi dalam pemikiran Arab Islam yang mendominasi praktek kehidupan umat Islam hingga hari ini. Menurut al-Jabiri ada tiga nalar yang secara umum dipakai oleh masyarakat Arab Islam, yaitu deskriptif (bayani), demonstratif (burhani) dan gnostik (irfani). Bagi al-Jabiri lebih lanjut menunjukkan bahwa nalar Arab terkungkung oleh nalar deskriptif (bayani), yang mondar-mandir dan berputar pada tiga kekuasaan, yakni: kekuasaan kata (al-lafzh), kekuasaan asal (al-ashalah) dan kekuasaan serba kemungkinan (al-tajwiz).
Kekuasaan kata misalnya, tampak dalam upaya untuk mengotak-atik jenis kata-kata yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits, apakah ia tunggal atau jamak, apakah ia ungkapan eksplisit (muhkam) ataukah implisit (mutasyabihat), apakah ia tidak terikat atau terikat (mutlak atau muqayyad), apakah ia ‘am atau khas, dan lain sebagainya. Sementara kekuasaan asal misalnya tampak dalam model pemikiran hukum Islam. Nalar Arab Islam selalu terpusat pada perdebatan mengenai posisi dan kedudukan, misalnya apakah ia sebagai sumber pengetahuan (asal, pokok, sumber), atau ia asal sebagai cabang, furu’ atau contoh yang pernah terjadi (seperti dasar analogi atau qiyas untuk memecahkan masalah masa kini yang dianggap hanya sebagai cabang, bukan asal. Sedangkan kekuasaan serba kemungkinan misalnya tampak dalam tidak dikenalnya hukum sebab akibat yang pasti, semuanya selalu berakhir serba mungkin. Ini merupakan akibat pengaruh tologi Asy’ariyah yang menghancurkan hukum sebab-akibat.
Dari realitas pemikiran Islam sebagaimana di atas, menurut al-Jabiri yang paling tepat adalah mengambil tradisi demonstratif (burhani), yaitu tradisi yang berwatak rasional seperti yang telah dikembangkan oleh Ibn Hazm, Ibn Rusyd, As-Syatibi dan Ibn Khaldun. Epitsmologi yang dikembangkan oleh para pemikir ini adalah rasional dan empiris dan karenanya berwatak ilmiah. Inilah yang oleh para pemikir garda depan Islam post-tra dianggap sebagai pilihan yang tepat untuk mengatasi keterbatasan akibat kungkungan kekuasaan dalam pemikiran Islam tradisional. Dari kritik epistemologi inilah, kemudian Islam post-tra berusaha mengusung dan mengembangkan gagasan rasionalisme Ibn Rusyd yang begitu tepat mendudukkan agama dan filsafat secara proporsional. Juga meninggalkan analogi (qiyas) sembari mengusulkan untuk beralih kepada maqashid al-syariah sebagaimana yang dikembangkan As-Syatibi.
Secara umum tujuan syariat adalah kemaslahatan manusia, oleh karena itu As-Syatibi kemudian merumuskan tiga jenis kemaslahatan: dharuriyah (elementer), hajjiyah (komplementer) dan takmiliyah (suplementer). Dari ketiga rumusan maslahah inilah, menurut hemat saya, tugas para pemikir Islam saat ini adalah merumuskan kembali secara rasional mengenai tujuan-tujuan syari’ah sesuai dengan tuntutan zaman dengan berpijak pada apa yang telah digariskan oleh As-Syaitibi. Saya melihat apa yang digariskan oleh As-Syatibi cukup memungkinkan untuk pengembangan yang lebih luas, sesuai dengan situasi, ruang, dan waktu. Dengan cara inilah Islam bisa mengapresiasi isu-isu kontemporer seperti HAM, demokrasi, keadilan gender, kemiskinan, dll.
D. Penutup
Dengan prinsip-prinsip dan metode moderasi itulah dalam perjalanan sejarahnya, Islam, menjadi “agama yang hidup” yang berlayar menyeberang meninggalkan tempat, tradisi asalnya, dan waktu lampau, juga meninggalkan sang pembawa (nabi). Berlayarnya Islam akhirnya menemukan tempat, tradisi lain, dan waktu yang berbeda dengan tradisi di mana ia hadir untuk pertama kalinya. Dengan demikian, klaim Islam murni tampaknya juga tidak memiliki legitimasi historis dan kultural yang kuat. Secara historis Islam bukan hanya merevisi ajaran-ajaran sebelumnya, tetapi lebih dari itu juga mempertahankan sebagian tradisi yang telah berkembang sebelumnya. Ia tidak bedanya dengan manusia, yang juga lahir dari lingkungan adat dan kulturalnya masing-masing. Kebudayaan setempat dimana seseorang itu lahir dan dibesarkan berpengaruh terhadap inkulturasi dan akulturasi keberagamaan seseorang. Oleh karenanya, secara jujur sulit diterima pernyataan yang mengatakan bahwa seseorang bisa beragama secara murni tanpa dibentuk oleh lingkungan kulturalnya. Sebaliknya apa yang dihayati oleh pemeluk suatu agama tidak lain adalah akumulasi tradisi keberagamaan.
Dengan kenyataan inilah agama yang dipraktekkan oleh manusia kemudian menjadi identik dengan tradisi itu sendiri. Agama adalah ekspresi budaya tentang keyakinan orang terhadap sesuatu Yang Suci, Yang Transenden, dan Yang Maha Kuasa. Apabila hubungan agama dan tradisi ditempatkan sebagai wujud interpretasi sejarah dan kebudayaan, maka semua domain agama adalah kreatifitas manusia yang sifatnya sangat relatif. Dengan kata lain, kebenaran agama yang diyakini setiap orang sebagai yang “benar” pada dasarnya merupakan sebatas sesuatu yang bisa ditafsirkan dan diekspresikan oleh manusia yang bersifat relatif atas “kebenaran” Tuhan yang absolut (Abdurrahman, 2003: 150).
Oleh karena itu, apapun bentuk yang dilakukan oleh setiap manusia untuk mempertahankan, memperbaharui atau memurnikan tradisi agama, tetap saja harus dipandang sebagai pergulatan dalam dinamika sejarah umat beragama itu sendiri. Pergulatan tentu saja adalah fenomena yang biasa dalam sejarah manusia. Dengan demikian, pergulatan semacam ini tidak harus memperlihatkan bahwa yang satu berhak menegasikan “kebenaran” yang diklaim oleh yang lain dengan menyatakan kebenaran yang dimilikinya sebagai “yang paling benar”.
Dalam kerangka tersebut di atas, Islam misalnya, juga harus dipandang sebagai agama yang akan terus hidup di dalam dan melalui proses pergulatan sejarah dan kebudayaan pemeluknya. Dengan kata lain “Islamisasi” mesti dipandang sebagai proses sejarah dan akulturasi dimana-mana.
Islam moderat yang terbuka dalam pemikiran keagamaan dan inklusif secara kultural serta konsisten meneguhkan perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dengan melawan ketidakadilan itulah Islam yang dapat menjadi pemandu bagi upaya penciptaan Indonesia yang demokratis dan berkeadaban.
Wallahu a’lam bi al-shawab
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Moeslim, (2003) Islam Sebagai Kritik Sosial, Jakarta, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Abduh, Muhammad/Ridha Rasyid, 1373, Al-Manar, Dar al-Manar
al-Jabiri, Muhammad Abid, (2000), Post Tradisionalisme Islam, Ahmad Baso (terj), Yogyakarta, LKiS
————, (1995) al-Turats wa al-Hadatsah, Dirasah wa Munaqasah, Bairut al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi.
————, (1986), Nahnu wa al-Turats, Qira’at Muashirah fi Turasatina al-Falsafi, Dar al-Baidah, al-Markaz ats-Tsaqafi al-Arabi.
Al-Razi. Imam Fakhrudin, (1985), Tafsir al-Kabir, Juz I, Beirut, Maktabah Dar al-Fikr
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, (2008) Tafsir At-Thabari,Jilid I, Jakarta: Pustaka Azzam.
Faris, Ibn, tt. Mu’jam Maqayis al-Lughah, 1
Hamid , Tawfik, “Don’t Gloss Over The Violent Texts” , Wall Street Journal, 1/9/2010).
Hamka, Tafsir Al-zhar, Juz I, 2008, Jakarta, Pustaka Panimas
Hanafi, Hasan, (1992) al-Turats wa al-Tajdid, Mauqifuna min al-Turats al-Qadim, Beirut, al- Muassasah al-Jami’ah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi, Beirut.
Shihab, M. Quraish, (2002), Tafsir Al-Misbah, Vol I, Jakarta, Lenter Hati.