Selasa, 31 Maret 2015

Kelompok Muslim Moderat Bisa Cegah ISIS Berkembang di Indonesia

Peneliti dan intelektual Islam berpendapat, sinergi kelompok Islam moderat bersama pemerintah akan efektif menangkal penyebaran ajaran kelompok negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS.

Pengamat terorisme yang juga Direktur Institute for Policy Analysis Of Conflict, Sidney Jones berpendapat, ratusan orang Indonesia yang bergabung dengan ISIS bukan jumlah yang banyak jika dibandingkan dengan total umat Islam di Indonesia. Menurut Jones, mereka yang bergabung dengan ISIS masih terbatas pada anggota kelompok radikal.

“Sampai saat ini sebagian besar yang direkrut adalah orang yang sudah ada hubungan langsung atau tidak langsung dengan organisasi radikal yang sudah ada. Ada JAT, ada Mujahiddin Indonesia Timur, ada pengikut Amanat Rahman yang sekarang ditahan di Nusakambangan, ada organisasi macam-macam tetapi yang menarik kalau anda ingin ke Suriah bergabung dengan ISIS harus ada rekomendasi dari orang yang sudah ada disana,” kata Sidney Jones.

Berbicara di Yogyakarta pekan ini, Sidney Jones mengatakan, untuk menangkal ideologi ISIS pemerintah harus terlebih dahulu memahami benar tentang ideologi ISIS. Menutup situs kelompok radikal, menurut Jones, tidak cukup membantu mengingat ada beragam media komunikasi termasuk media sosial yang mudah diakses.

Menurutnya, salah satu cara menangkal ISIS adalah mengawasi para napi teroris yang sekarang ada di penjara. “Memperkuat pengawasan napi teroris di penjara-penjara. Karena semua propaganda dari ISIS sekarang ini diterjemahkan dari Bahasa Inggris atau bahasa Arab oleh orang yang sekarang ditahan di Nusakambangan," jelasnya.

"Ada (teroris) yang sudah dipisahkan tetapi mereka tetap bisa dapat akses HP, downloaded materials karena ada beberapa faktor, dan korupsi adalah salah satunya. Alat yang paling baik untuk melawan ideology radikal memberantas korupsi, karena dengan korupsi orang bisa dapat dokumen identitas palsu, bisa memasukkan bahan-bahan berbahaya kedalam penjara,” lanjut Sidney Jones.

Mohammad Iqbal Ahnaf, PhD, dosen dan peneliti pada program paska sarjana studi Agama dan Lintas Budaya UGM mengatakan, menutup situs radikal masih perlu dilakukan. Ia memandang perlu dilakukan penangkapan terhadap anggota kelompok radikal.

“Tidak hanya mereka yang dipenjara, saya kira termasuk mereka yang diluar karena jaringan-jaringan lama itu beberapa tokoh kunci masih bebas di luar. Beberapa tokoh kunci itu herannya sampai sekarang belum tertangkap," jelas Mohammad Iqbal Ahnaf.

"Sebenarnya gerakan terror di Indonesia itu kan melemah karena banyak sekali yang ditangkap Densus 88. Tetapi mereka itu selalu berusaha mencari bentuk baru. Dan bentuk-bentuk baru itu tidak selalu sama satu kelompok dengan kelompok lainnya. Makanya ketika ada ISIS itu mereka menemukan inilah sesuatu yang baru itu yang dicari,”lanjutnya.

Menurut Iqbal, ISIS membahayakan dari sisi kekerasan dan korban yang ditimbulkan. Bahaya lainnya adalah polarisasi sosial akibat kebencian agama yang bisa merusak fondasi toleransi di Indonesia.

Untuk mencegah paham ISIS berkembang di Indonesia, menurut Iqbal, perlu partisipasi muslim moderat bersinergi dengan pemerintah memberantas terorisme dengan mempersempit ruang gerak kelompok radikal dan menegakkan hukum.

Okriza Eka Putra, dari Majelis Intelektual Ulama Muslim Indonesia (MUIMI) Yogyakarta tidak sependapat dengan penangkapan anggota kelompok radikal karena bisa menimbulkan efek kebencian terhadap aparat. MIUMI yang berdiri dua tahun lalu, lebih mengedepankan pendidikan kepada masyarakat secara langsung melalui pengajian-pengajian.

Anggota MIUMI termasuk para ustadz dengan pendidikan minimal paska sarjana. Para ustadz menjelaskan bahwa ajaran ISIS itu sesat.
“Ketertarikan kepada ISIS kita harus tahu dulu. Pertama ISIS itu menjual nama Khalifah Islamiyah. Mereka mengatakan bahwa sehabis Rasulullah (Muhammad SAW) akan muncul para pemuda berpanji-panji hitam, dan kalau itu muncul maka bergabunglah dengan dia, itu kata Rasulullah. Jadi pertama alasannya memang ideologi," jelas Akrizal Eka Putra.

"ISIS itu kalau memang ingin menegakkan khalifah Islamiyah Rasulullah tidak pernah mengajarkan kekerasan seperti itu. Jadi di setiap pengajian kita itu selalu diselipkan dan di khotbah-khotbah itu kita selipkan bahwa ISIS itu aliran sesat,” lanjutnya.


Eka Putra mengusulkan, BNPT bekerjasama dengan para ustadz dari kelompok muslim moderat melakukan deradikalisasi melalui pembinaan kepada para anggota kelompok radikal, dimulai dari mereka yang ada di penjara. Menurutnya, pendidikan dan perlakukan tanpa kekerasan lebih efektif untuk jangka panjang.
http://www.voaindonesia.com/content/kelompok-muslim-moderat-bisa-cegah-isis-berkembang-di-indonesia/2697966.html

Soal Rokok, Lesbumi-Sarbumusi NU Siap Lawan YLKI

Jakarta, NU Online 
Nahdlatul Ulama melalui Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) dan Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) menyatakan siap melawan dan melakukan somasi jika Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melakukan somasi kepada Kementerian Sosial. 

Seperti diketahui, Mensos Khofifah Indar Parawansa mengunjungi Orang Rimba dalam rangka menyampaikan bela sungkawa atas meninggalnya 11 orang karena menderita kelaparan. Pada kunjungan tersebut, Mensos tidak hanya membagikan sembako dan pakaian, tapi juga rokok. 

Hal itu diprotes YLKI karena dianggap sebagai bentuk pengabaian kesehatan masyarakat. "Rokok merupakan produk yang membahayakan kesehatan masyarakat. Sebagai pejabat negara Mensos wajib melindungi kesehatan masyarakat. Bukan malah sebaliknya," ujar pengurus harian YLKI, Tulus Abadi Jumat (27/3) seperti dilansir berita online.

YLKI memandang apa yang dilakukan Mensos bertentangan dengan PP No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai zat adiktif bagi kesehatan. Karenanya, YLKI menuntut Mensos untuk meminta maaf kepada publik. Kalau tidak, akan mengambil langkah-langkah hukum.

Lesbumi dan Sarbumusi pada jumpa pers Selasa (31/3) di gedung PBNU menilai pernyataan YLKI tersebut adalah bentuk kriminalisasi terhadap kebudayaan masyarakat yang berkembang di Orang Rimba. 

Menurut Ketua PP Lesbumi Zastrouw Al-Ngatawi, YLKI tak berbeda dengan kalangan puritanisme agama yang senang membid’ah-bid'ahkan seni tradisi karena dianggap mengotori agama. “Atas nama kesehatan, YLKI melakukan penzaliman terhadap kebudayaan,” tegasnya. 

Kalau YLKI jujur, kenapa makanan dan minuman lain yang dianggap merusak kesehatan tidak dilarang juga. Zastrouw menyebut kenapa soft drink, junk food, tidak dilarang, karena sama-sama merusak kesehatan. Kambing yang bisa menyebabkan stroke dan darah tinggi seharusnya dilarang juga.  

Perlu diketahui, sambung Zastrouw, apa yang dilakukan Mensos adalah diplomasi budaya. Supaya komunikasi cair dengan Orang Rimba, berdasarkan ahli antropologi, harus dengan rokok.

YLKI, tak mengungkap asbabul wurud (sebab-sebab terjadinya peristiwanya). “Ini kelakuan munafik, tidak jujur, dan sesat pikir demi keuntungan kelompok sendiri,” terangnya.

Apa yg dilakukan Mensos, bisa diumpamakan dokter yang memberi opium kepada pasien yang akan dioperasi. “Kenapa YLKI tidak mempermasalahkan itu. Padahal itu barang terlarang, melanggar hukum.” Di Indonesia, lanjutnya, rokok bukan barang terlarang dan boleh diperjualbelikan. 

Ia menduga apa yang dilakukan YLKI bertujuan mencairkan dana dari donor-donor antitembakau. “Kita sulit tidak menduga itu,” katanya.

Ketua DPP Sarbumusi Eko Darwanto yang hadir pada kesempatan itu berpendapat, apa yang dilakuakn YLKI berlebihan. Menurut dia, rokok perlu dilihat sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Industrinya melibatkan 10 juta pekerja dengan jumlah orang yang bergantung padanya sekitar 30 juta.

Ia menambahkan, per tahun, industri rokok memberikan pemasukan kepada negara sekitar 150 triliun. Jumlah itu merupakan urutan kedua terbesar negara setelah PPN. Karena itu, negara juga tak berani melarang, melainkan membatasinya.  

Sama dengan Lesbumi, Sarbumusi memandang apa yang dilakukan YLK perang dagang antara pedangang rokok dan tukang obat. Ada agenda besar untuk menggoyang industri rokok di Indonesia. Tapi dampaknya, tidak hanya pada industrinya sendiri, melainkan, budaya. (Abdullah Alawi

Kisah di balik foto bocah Suriah yang angkat tangan


Ribuan pengguna internet telah menyebarkan foto seorang bocah Suriah yang mengangkat kedua tangannya karena mengira kamera yang diarahkan kepadanya merupakan senjata api. Bagaimana kisah di balik foto tersebut?
Ramainya peredaran foto bocah Suriah berambut poni dan berpipi tembam di dunia maya tidak lepas dari peran Nadia Abu Shaban. Jurnalis fotografer yang berbasis di Gaza, Palestina, itu menyebarkan foto tersebut melalui Twitter pada Selasa (24/03) lalu.
‘Seorang jurnalis foto mengabadikan foto bocah Suriah ini. Bocah itu berpikir sang jurnalis foto menodongkan senjata, bukan kamera, sehingga dia menyerah’, demikian tulis Nadia dalam akun Twitternya.
Sejak diunggah ke dunia maya pada Selasa (24/03) lalu, foto itu telah dikicaukan 11.000 kali. Kemudian, ketika diunggah di jejaring Reddit, foto itu menerima 1.600 komentar dan 5.000 vote.
‘Saya menangis’, ‘sedih bukan main’, dan ‘kegagalan kemanusiaan’ ialah komentar-komentar yang jamak ditulis netizen saat mengomentari foto tersebut.
Kendati begitu, tak jarang pula pengguna internet yang menuding foto itu hoax atau sengaja dibikin. Tuduhan itu dialamatkan mengingat tiada nama fotografer pada foto tersebut.
Saat BBC menanyakan hal itu kepada Nadia Abu Shaban, dia mengaku dirinya bukan pengabadi momen tersebut. Dia juga tidak bisa menjelaskan identitas fotografer yang mengambil foto itu.
Titik terang mulai muncul ketika seorang pengguna Imgur--situs khusus untuk berbagi foto--mengaitkan foto tersebut pada sebuah kliping surat kabar Turki. Nama fotografer dalam kliping foto itu ialah Osman Sağırlı.

Kamp pengungsi

BBC kemudian melacak keberadaan Sağırlı. Pria itu kini bekerja di Tanzania dan foto tersebut dia abadikan saat meliput konflik Suriah untuk surat kabar Türkiye, Desember 2014 lalu.
Menurutnya, bocah yang dia bidik sebenarnya bocah perempuan bernama Hudea. Bocah berusia empat tahun itu ialah anak keluarga pengungsi di kamp pengungsian Atmeh di Suriah, sejauh 10 kilometer dari perbatasan Turki. Anak itu sampai di kamp bersama ibu dan dua saudara kandungnya setelah bepergian sejauh 150 kilometer dari rumah mereka di Kota Hama, Suriah.
“Saat itu saya menggunakan lensa tele dan dia mengiranya itu senjata. Saya sadar dia amat takut ketika saya mengambil foto karena dia menggigit bibirnya dan mengangkat kedua tangannya. Umumnya anak-anak lari dan menyembunyikan wajah mereka atau tersenyum saat melihat kamera,” ujar Sağırlı.
Sewaktu meliput kondisi di kamp tersebut, Sağırlı mengaku menjadi paham akan situasi konflik sebenarnya.
“Di kamp itu ada orang-orang yang tercerai berai dari kampung halaman mereka. Lebih mengena melihat derita mereka bukan melalui orang dewasa tapi melalui anak-anak. Sebab anak-anak yang memancarkan perasaan mereka dengan keluguan,” ujarnya.
Foto Hudea pertama kali muncul di surat kabar Türkiye pada Januari lalu. Foto itu tersebar di kalangan pengguna media sosial Turki saat itu. Namun, baru beredar ke seluruh dunia beberapa bulan setelahnya.
http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2015/03/150331_majalahlain_foto_suriah

Senin, 30 Maret 2015

MENEGUHKAN ISLAM MODERAT UNTUK INDONESIA YANG DEMOKRATIS DAN BERKEADABAN

Oleh M. Mukhsin Jamil
http://mukhsinjamil.blog.walisongo.ac.id/2013/12/20/islam-moderat

Saya ingin mengawali pembicaraan mengenai pentingnya meneguhkan Islam moderat untuk Indonesia yang demokratis dan berkeadilan, dengan tiga persoalan dan argumen dasar.


Pertama, dewasa ini ada dua kecenderungan dasar kehidupan masyarakat Muslim yaitu kecenderungan kepada radikalisme literalis dan liberalisme sekluarlis. Kecenderungan pertama tampak pada kalangan umat Islam yang bersikap ekstrim dan ketat dalam memahami hukum-hukum agama dan mencoba memaksakan cara tersebut dengan menggunakan kekerasan di tengah masyarakat Muslim. Sedangkan kecenderungan kedua bisa dilihat pada sikap longgar secara ekstrim dalam kehidupan beragama dan tunduk pada perilaku dan pemikiran yang asing bila dilihat dari pertumbuhan tradisi Islam.



Kedua, Islam merupakan agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Oleh karenanya dapat dipastikan dinamika kehidupan masyarakat Islam sangat menentukan wajah dan masa depan Indonesia. Kemajuan atau kemunduran, demokrasi dan keadaban bangsa Indonesia ini sangat banyak tergantung pada bagaimana masyarakat Islam Indonesia menampilkan kehidupan keislaman, baik pada domain kehidupan pribadi, keluarga maupun pada domain kehidupan publik.



Ketiga, Usaha untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis dan berkeadaban memerlukan landasan religiokultural yang mendorong kemajuan sekaligus respek terhadap realitas Indonesia multikultural. Perlu disadari kembali bahwa meskipun sebagai agama mayoritas, agama Islam tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia yang multikultural. Di negeri ini berbagai agama, tradisi, hadir, hidup, tumbuh dan berkembang. Islam itu sendiri kemudian menjadi bagian dari wajah multikultural Indonesia itu.



Persoalan pertama terkait dengan hubungan antara Islam dan modernitas, sedangkan persoalan yang kedua terkait dengan hubungan antara keislaman dan keindonesiaan dan masalah yang ketiga terkait dengan kemajemukan budaya akibat kemajuan dan Globalisasi. Dengan berdasar pada masalah di atas maka saya mengembangkan hipotesis bahwa Islam moderat adalah jembatan antara agama, tradisi dan (Islam) dan modernitas. Islam moderat juga jembatan antara Keislaman dan keindonesiaan. Dari sudut keilmuan Islam moderat adalah paradigma pemikiran dan praksis keislaman di tengah Globalisasi yang menyuguhkan kemajemukan budaya akibat intensitas hubungan antar bangsa.



A. Islam Moderat: Landasan Teologis dan Ontologis


Saya menggunakan istilah Islam moderat dalam pengertian yang menerobos pembagian sekte seperti Sunni dan Syi’ah. Sebagaimana kecenderungan ekstrim (tatharuf, ghuluw) yang bisa ada pada kelompok Sunni maupun Syi’ah, demikian juga Islam moderat ada pada kedua kelompok tersebut. Sebagaimana diungkapkan Abou El-Fadl (2005:27), orang-orang Sunni bisa puritan atau moderat sesuai kriteria dan karakteristik khusus sebagaimana dengan Syi’ah. Seorang Sunni puritan cenderung meyakini ide-ide yang sama dan sampai pada kesimpulan-kesimpulan sebagaimana dimiliki seorang Syi’ah puritan. Hal serupa menurut Abou El-Fadl berlaku bagi Syi’ah dan Sunni moderat. Mereka yang disebut sebagai orang moderat sebenarnya digambarkan secara beragam sebagai kelompok modernis, postradisionalis, progresif dan reformis.

Dalam bahasa Arab modern, padanan untuk kata moderat atau moderasi adalah wasath atau wasathiyyah. Makna kata wasath atau al-wasathiyyah adalah adil, baik, tengah dan seimbang (Faris, I: 522). Istilah mutawassit kadang-kadang juga dipakai untuk menerjemahkan kata moderat. Islam moderat, dalam bahasa Arab modern, disebut sebagai al-Islam al-wasat, sedangkan moderasi Islam diungkapkan dengan frasa wasatiyyat al-Islam.

Iistilah ‘Islam moderat’bukanlah tanpa konsep dan landasan. Justeru, istilah itu muncul dengan dasar atau landasan teologis dan ontologis. Istilah Islam moderat ialah bagian dari ajaran Islam yang universal. Istilah Islam moderat memiliki padanan dengan istilah Arab ummatan wasathan atau al-din al-wasath. Allah berfirman “Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik) agar kalian menjadi saksi (syuhada’) bagi semua manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (syahid) juga atas kalian.” (Q. S. Al-Baqarah:143). Umatan wasathan dalam ayat tersebut berarti “golongan atau agama tengah”, tidak ekstrim.

Kata “wasat” dalam ayat di atas, jika merujuk kepada tafsir klasik seperti al-Tabari atau al-Razi, mempunyai tiga kemungkinan pengertian, yakni: umat yang adil, tengah-tengah, atau terbaik. Ketiga pengertian itu, pada dasarnya, saling berkaitan. Yang menarik, konsep wasath dalam ayat itu dikaitkan dengan konsep lain, yaitu syahadah, atau konsep kesaksian. Jika kita ikuti makna harafiah ayat itu, pengertian yang kita peroleh dari sana adalah bahwa umat Islam dijadikan oleh Tuhan sebagai umat yang wasat (adil, tengah-tengah, terbaik), karena mereka mendapatkan tugas “sejarah” yang penting, yaitu menjadi saksi (syuhada’) bagi umat-umat yang lain.

Apa yang dimaksud dengan tugas “kesaksian” dalam ayat itu? Saksi atas apakah? Tak ada keterangan yang detil mengenai hal ini dalam ayat tersebut. Tetapi, jika kita rujuk beberapa tafsir klasik, apa yang dimaksud dengan kesaksian di sini adalah tugas yang dipikul umat Islam untuk meluruskan sikap-sikap ekstrem yang ada pada dua kelompok agama pada zaman ketika Quran diturunkan kepada Nabi, yaitu golongan Yahudi dan Nasrani.

Tafsir al-Tabari, misalnya, menyebut bahwa umat Islam dipuji oleh Tuhan sebagai umat yang tengah-tengah karena mereka tidak terjerembab dalam dua titik ekstrim. Yang pertama adalah ekstrimitas umat Kristen yang mengenal tradisi “rahbaniyyah” atau kehidupan kependetaan yang menolak secara ekstrim dimensi jasad dalam kehidupan manusia (seperti dalam praktek selibat). Yang kedua adalah ekstrimitas umat Yahudi yang, dalam keyakinan umat Islam, melakukan distorsi atas Kitab Suci mereka serta melakukan pembunuhan atas sejumlah nabi.

Muhammad Abduh, melalui muridnya Rashid Rida, mengemukakan pendapat yang sedikit berbeda. Dalam tafsirnya yang masyhur al-Manar, Abduh mengemukakan bahwa apa yang dimaksud dengan wasath ialah sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrim. Yang pertama, materialisme yang ekstrim yang dianut oleh kalangan al-jusmaniyyun, yakni mereka yang hanya memperhatikan aspek jasmani atau badan saja, mengabaikan dimensi rohaniah dan spiritual dalam kehidupan manusia. Yang kedua, spiritualisme yang ekstrim yang hanya memperhatikan dimensi rohaniah belaka, tanpa memberikan perlakuan yang adil terhadap dimensi jasmaniah. Kelompok yang menganut pandangan ini, oleh Abduh, disebut sebagai al-ruhaniyyun.

Bagi Ali Syariati, pembaharu Islam di Iran, dan Buya Hamka, al-din al-wasath berarti Islam berada di tengah antara esoterisme Kristiani dan eksoterisme Yahudi. Sementara ahlil tafsir, Quraisy Shihab menegaskan, bahwa “Umatan Wasathan” dalam surah al-Baqarah ayat 143, maksudnya adalah umat moderat yang posisinya berada di tengah, yang bisa dilihat oleh semua pihak, dan dari segenap penjuru.

Sebagai istilah untuk penggolongan corak pemikiran dan gerakan istilah “Islam moderat” diperlawankan dengan istilah lain, yaitu Islam radikal. Islam moderat, dalam pengertian yang lazim kita kenal sekarang, adalah corak pemahaman Islam yang menolak cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh kalangan lain yang menganut model Islam radikal. Tawfik Hamid (2010), seorang mantan anggota kelompok Islam radikal dari Mesir, al-Jamaah al-Islamiyyah, mendefinisikan Islam moderat sebagai, “a form of Islam that rejects… violent and discriminatory edicts” (Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi). Menurut Hakim di dalam Islam memang ada beberapa hukum yang bisa “disalah-gunakan” untuk membenarkan tindakan terorisme atau kekerasan secara umum. Sebagai contoh adalah hukum tentang jihad yang banyak digunakan untuk melakukan tindak kekerasan dengan berbagai ekspresi seperti perang dan teror. Bagi Hakim, Islam moderat sebagai antitesis Islam radikal adalah model Islam yang menolak kekerasan semacam itu.

Pengertian Islam moderat juga dirumuskan oleh Dr. Moqtedar Khan dalam blog Ijtihad (www.ijtihad.org). Dr. Khan juga memperlawankan istilah Islam moderat terhadap Islam radikal. Perbedaan antara keduanya, menurut dia, adalah bahwa yang pertama lebih menekankan pentingnya prinsip ijtihad dalam pengertian yang lebih luas, yaitu kebebasan berpendapat (dengan tetap bersandar pada sumber utama dalam Islam, yaitu Quran dan Sunnah), sementara yang kedua lebih menekankan konsep jihad (perang suci).

Dari uraian di atas dapat dilihat pengertian kata wasath saat ini mempunyai pergeseran jauh. Sekarang, istilah itu bukan lagi dimaknai dalam kerangka superioritas Islam atas agama-agama lain, tetapi justru dipahami sebagai kritik internal dalam diri umat Islam sendiri. Umat Islam, dalam tafsiran Abduh, adalah umat yang “wasat”, moderat, karena mengambil sikap tengah antara materialisme dan spiritualisme. Dengan kata lain, istilah “wasat” dalam ayat di atas, baik dalam pemahaman penafsir klasik seperti al-Tabari (w. 923) dan al-Razi (w. 1209), atau penafsir modern seperti Muhammad Abduh (w. 1905), dipahami dalam kerangka konsep keunggulan umat Islam atas umat-umat yang lain, terutama Yahudi dan Kristen. Rahasia keunggulan itu terdapat dalam sikap umat Islam yang mengambil jalan tengah antara dua titik ekstrem yang mencirikan baik kalangan Kristen atau Yahudi. Istilah “wasat”, dengan demikian, berkaitan dengan konsep superioritas Islam atas agama-agama lain. Istilah itu, sekarang, diperlawankan terhadap corak Islam lain yang ekstrem dan radikal, yakni corak keagamaan yang membenarkan penggunaan kekerasan dalam dakwah.

Perkembangan ini menarik kita cermati karena ciri ekstrimitas yang semula melekat pada golongan lain di luar Islam seperti dimengerti dalam tafsiran klasik di atas, ternyata bisa dijumpai dalam kalangan Islam sendiri. Hal ini juga memperlihatkan bahwa sebuah konsep dalam Quran, seperti kata “wasath” itu, dipahami secara dinamis dari waktu ke waktu. Perubahan konteks sejarah dan tantangan dalam tubuh umat Islam sendiri membuat pemahaman penafsir Quran tentang sejumlah konsep dalam kitab suci itu berubah secara lentur. Pergeseren ini juga memperkuat keharusan bagi umat Islam untuk meneguhkan posisinya sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an untuk menjadi umatan wasatha (umat yang moderat.




B. Prinsip-Prinsip Islam Moderat

Berdasarkan penyelidikan terhadap pemikiran dan gerakan Islam yang memperjuangkan moderasi Islam maka saya menemukan paling tidak sembilan prinsip yang melandasi Islam moderat:



1. Al-Qur’an sebagai Kitab Terbuka
Al-Qur’an merupakan pedoman yang sangat sentral dalam kehidupan umat Islam. Dalam pengertian tekstualnya Al-Qur’an adalah korpus teks suci resmi dan tertutup. Artinya teks Al-Qur’an tidak akan berubah sejak masa diturunkan sehingga akhir zaman. Akan tetapi dari sudut penafsiran Al-Qur’an adalah kitab yang terbuka yang telah menghasilkan korpus-korpus tafsir, hasil kegiatan penafsiran umat Islam sesuai dengan keadaan dan perkembangan zaman. Dalam arti sebagai kitab terbuka Al-Qur’an meniscayakan penafsiran terus menerus yang akan menghasilkan makna baru yang lebih hidup guna menyelesaikan problem kemanusiaan. Dalam pengertian ini Islam moderat memandang Al-Qur’an sebagai kitab terbuka. Islam moderat menolak pandangan Al-Qur’an sebagai kitab tertutup yang memunculkan pemahaman terhadap Al-Qur’an yang bersifat tekstualistik, yaitu pemahaman mengenai Islam yang semata-mata mempertaruhkan segala-galanya pada bunyi atau huruf-huruf teks (nash) keagamaan.

Prinsip Al-Qur’an sebagai kitab terbuka juga didasarkan pada suatu pandangan bahwa kehidupan manusia selalu berubah, sementara teks-teks keagamaan terbatas. Ajaran Islam berisikan ketentuan-ketentuan tang tetap (tsawabit) dan sekaligus berisi hal-hal yang memungkinkan untuk berubah (mutaghayirat) sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu.



2. Keadilan
Konsep sentral Islam adalah tauhid dan keadilan. Keadilan merupakan ruh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan, keadilan dianggap oleh ahli ushul fiqh sebagai tujuan Syari’at. Dalam konteks ini Islam lebih dari sekedar sebuah agama formal. Islam merupakan risalah yang agung bagi transformasi sosial, pembebasan, dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi. Semua ajaran Islam pada dasarnya bermuara pada terwujdunya suatu kondisi kehidupan yang adil.



3. Kesetaraan
Islam berada di garda paling depan membawa bendera kesetaraan (al-musawah) harkat dan martabat manusia. Kesetaraan mengandaikan adanya kehidupan umat manusia yang menghargai kesamaan asal-muasalnya sebagai manusia dan kesamaan pembebasan dimana setiap manusia dikarunia akal untuk berfikir. Kesetaraan merupakan landasan paradigmatik dalam meneguhkan visi Islam moderat. Salah satu misi dasar Islam adalah menghancurkan sistem sosial yang diskriminatif, dan eksploitatif terhadap kaum yang lemah.



4. Toleransi
Islam moderat juga dicirikan oleh keterbukaan terhadap keanekaragaman pandangan. Sikap ini didasari oleh kenyataan bahwa perbedaan di kalangan umat manusia adalah sebuah keniscayaan (Q.S Al-Kahfi: 29). Sesuai dengan sunatullah, perbedaan antar manusia akan terus terjadi. Oleh karena itu pemaksaan dalam berdakwah kepada mereka yang berbeda pandangan, baik dalam satu agama maupun berbeda agama, tidak sejalan dengan semangat menghargai perbedaan yang menjadi tuntunan Al-Qur’an.



5. Pembebasan
Agama sejatinya diturunkan ke bumi untuk mengatur dan menata kesejahteraan manusia (limashalih al-ummat). Oleh karena itu agama semestinya dipahami secara produktif sebagai sarana transformasi sosial. Segala bentuk wacana pemikiran keislaman tidak seharusnya tidak menampilkan agama sebagai sesuatu yang menakutkan. Sebaliknya pemikiran itu dilakukan dalam rangka membebaskan akal, dan perilaku dan etika yang dapat membentuk kesalehan sosial. Pemikiran dan perilaku keagamaan tak akan mampu membebaskan jika agama sendiri menjelma menjadi kekuatan tiran yang membelenggu pemeluknya. Oleh karena itu sudah semestinya agama dijadikan sebagai kekuatan kritik, dan bukan sebaliknya, anti kririk. Dengan meletakkan agama sebagai kekuatan kritik, maka agama menjadi instrumen yang membebaskan manusia dari cengkeraman penindasan struktur sosial, politik dan budaya yang tidak adil.



6. Kemanusiaan
Dalam pandangan Muslim moderat, Sejak awal kehadirannya, Islam memperlihatkan tekad yang besar dalam upaya membangun masyarakat yang adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pandangan Islam moderat, Al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia secara keseluruhan telah mendapat kemuliaan (takrim) dari Allah SWT, tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan sebagainya (QS. Al-Isra: 70). Mengutip Ali Asghar Engineer (1999), sejak masa kelahurannya Islam mempunyai misi untuk menyelamatkan manusia, dan menghidupkan keadilan dalam bentuknya yang paling konkrit. Islam merupakan kekuatan Ilahiah untuk membebaskan manusia dari kondisi-kondisi ketidakadilan dan kezaliman. Sayangnya kini prinsip ini kini terkubur oleh praktek-praktek keberagamaan yang ritualistic dan radikal.



7. Pluralisme
Sebagaimana ditunjukkan oleh namanya, Islam adalah agama damai dan menyukai perdamaian. Dalam kerangka perdamaian itu Al-Qur’an memandang fakta keanekaragaman agama sebagai kehendak Allah, sebagaimana juga Nabi Muhammad sebagai seorang rasul dari sebagian rasul yang di utus kepada umat manusia. Perbedaan agama terjadi karena perbedaan millah yang dianut oleh Islam, Kristen dan Yahudi. Din atau agama berasal dari sumber yang sama yaitu Tuhan, sedangkan millah atau syari’at yang dibawa para Nabi itu berbeda-beda.



8. Sensitifitas gender
Islam diturunkan oleh Allah sebagai penuntun (hadi), pembawa kabar gembira (basyir) dan pembawa peringatan (nadzir) bagi umat manusia. Dengan fungsi ini Islam mengakibatkan perubahan cara pandang pemelauknya terhadap perempuan. Islam mendeklarasikan kesamaan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan. Berkaitan dengan sensitifitas Islam terhadap isu-isu gender ini umat Islam memiliki segudang masalah. Berseberangan dengan misi dasar Islam untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan, sebaliknya sebagian umat Islam justru menggunakan justifikasi agama untuk melanggengkan disparitas laki-laki dan perempuan. Praktek poligami yang dilakukan semuanya sendiri misalkan merupakan contoh penggunaan legitimasi agama untuk melanggengkan diparitas laki-laki dan perempuan itu.



9. Non diskriminasi
Sejak awal kehadirannya Islam secara tegas menentang penindasan, peminggiran dan ketidakadilan. Praktek teladan Nabi di Madinah dengan membangun kesepakatan mengenai hak dan kewajiban yang sama diantara kelompok-kelompok suku dan agama menunjukkan kesetaraan dan non diskriminasi adalah prinsip sentral dalam Islam. Melalui prinsip kesetaraan dan non diskriminasi diantara elemen masyarakat itulah Nabi membangun tatanan masyarakat yang sangat modern dilihat dari ukuran zamannya.




C. Metodologi Islam Moderat

Sebagaimana telah diuraikan di atas Ada beberapa hal yang melatarbelakangi keharusan untuk penguatan Islam moderat. Kemunculan Islam moderat ini, diantaranya adalah bahwa wacana pembaharuan dalam Islam yang didominasi oleh pemikiran dikotomik mengenai realitas kehidupan keberagamaan, yaitu dikotomi antara tradisi dan pembaharuan (tradisi dan modernitas), atau dalam bahasa al-Jabiri al-Turats wa al-Hadatsah.

Muhammad al-Jabiri Menunjukkan adanya dua sikap umat Islam yang saling bertentangan dalam melihat tradisi di tengah modernitas, yakni: 1). mereka yang menolak apa saja yang bukan dari tradisi Islam, karena apa yang ada dalam tradisi Islam dianggap sudah lengkap dan memadai. 2). mereka yang menganggap sebaliknya, yakni tradisi sama sekali tidak memadai dalam kehidupan modern saat ini, oleh karena itu harus di buang jauh-jauh karena dianggap sebagai realitas yang bertentangan dengan modernitas.

Sikap pertama adalah tradisionalisme (yang berpegang teguh pada tradisi) dengan segala manifestasinya, baik dari level ideologis, intelektual maupun komunitas sosial politiknya dianggap sepi dari dinamika dan pergulatan, bahkan anti perubahan. Dari sinilah kemudian, pilihan pada modernisme dianggap sebagai satu-satunya pendorong perubahan. Tetapi pada hemat saya, alih-alih hendak melakukan perubahan pemikiran dan praktek keberagamaan, modenisme pada akhirnya justru menjadi wacana ideologis, serta dominasi nalar yang terkesan a historis.

Islam moderat berpandangan bahwa sesungguhnya tidak mungkin melakukan rekonstruksi pemikiran dan kebudayaan dari ruang sejarah yang kosong. Artinya, betapapun kita begitu bersemangat untuk melampaui zaman -yang sering disebut sebagai kemunduran umat Islam- kita mesti mengakui bahwa khazanah pemikiran dan kebudayaan yang kita miliki adalah kekayaan yang sangat berharga untuk dikembangkan sebagai entry point untuk merumuskan tradisi baru. Muhammad Abid al-Jabiri menyuguhkan satu pandangan bahwa salah satu persoalan krusial bagi proyek kebangkitan kembali Islam adalah bagaimana menyikapi tradisi (turats) yang telah diwariskan dari generasi-ke generasi sepanjang sejarah.

Muhammad Abid Al-Jabiri maupun Muhhammad Arkoun, menawarkan telaah kontemporer (qira’ah mu’ashirah) terhadap tradisi. Telah kontemporer ini yang kemudian dirumuskan sebagai kritik nalar (naqd al-aql), yang diajukan untuk mengganti metode penelaah lam atas tradisi yang telah berkembang, tetapi tidak menghasilkan tradisi baru dalam dunia Islam.

Berkaitan dengan upaya rekonstruksi tradisi ini, terdapat beberapa pilihan pendekatan yakni:
Pertama, pendekatan eklektisisme (al-qira’ah alintiqaiyah). Pendekatan ini menghendaki adanya kolaborasi antara orisinalitas (al-ashalah) dan modernitas (al-mu’ashirah). Dalam rangka membangun “teori analisa tradisi” ini juga diupayakan untuk menyingkap rasionalitas dan irasionalitas dalam tradisi. Singkatnya, pendekatan ini berpendapat bahwa menguraikan dan memetakan tradisi yang rasional dan irasional merupakan cara terbaik untuk menyikapi tradisi. Tokoh pendekatan ini antara lain Fahmi Jad’an dan Zaky Naqueb Mahmud.

Kedua, pendekatan revolusioner (al-qira’ah al-tatswiriyah). Pendekatan ini menghendaki untuk mengajukan proyek pemikiran baru yang mencerminkan revolusi dan liberalisasi pemikiran keagamaan. Lalu posisi tradisi dijadikan sebagai starting point untuk menghidupkan kembali elan revolusi. Proyek-proyek seperti “dari tradisi menuju revolusi” (min al-turats ila al-tsaurah) yang digagas Thayed Tizini, kemudian “dari aqidah menuju revolusi” (min al-aqidah ila al-tsaurah) ala Hasan Hanafi, lalu “dari absolutisme menuju relativisme” (min al-tsabit ila al-mutahawwil) yang digagas Adones, adalah sederet proyek-proyek pemikiran yang mewakili sayap ini. Pendekatan kedua ini, sebagaimana ditunjukkan oleh Hasan Hanafi, mengusulkan tiga cara dalam melihat tradisi dan pembaruan, yaitu: 1). menganalisa pembentukan dan latar belakang tradisi, 2). mengamati pembekuan dan pensakralan tradisi, dan kemudian 3). mencermati bagaimana tradisi tersebut berlawanan dengan kemaslahatan umum.

Mula-mula yang dilakukan dalam melihat, mengamati, dan menganalisa tradisi adalah dengan menggunakan metode historis yang bertujuan untuk menguraikan pembentukan tradisi. Setelah itu, kemudian melakukan rekosntruksi tradisi untuk menemukan tradisi baru, lalu mengupayakan fungsionalisasi tradisi baru untuk transformasi sosial, bukan untuk kajian ilmiah belaka. Pergulatan dengan tradisi, demikian menurut Hasan Hanafi, hanya sekedar mengambil domain tertentu saja, sedangkan yang terpenting adalah mewujudkan interpretasi liberalis, demokratis, sosialis dan progresif dalam rangka menghadapi pemahaman keagamaan konservatif dan totalitarianistik.

Ketiga, pendekatan dekonstruktif (al-qira’ah al-tafkikiyah). Pendekatan ini berusaha membongkar tradisi secara komprehensif hingga menyentuh ranah metodologis. Pendekatan ini bahkan mengkaji tradisi berdasarkan epistemologi terkini, seperti post strukturalisme dan post modernisme. Beberapa tokoh sayap ini misalnya Muhammad Abid al-Jabiri dengan proyeknya “trilogi nalar Arab”, Muhammed Arkoun dengan “kritik nalar Arab”, Nashr Hamid Abu Zaid dengan “tekstualitas al-Qur’an”, juga Ali Harb dengan proyek “dekonstruksi Teks dan Kebenaran”.

Sayap ketiga, sebagaimana diperagakan oleh al-Jabiri misalnya, berusaha mencari pengganti dua metode yang telah ada sebelumnya (tradisional dan orientalis) dan berusaha untuk mencapai obyektifitas (maudhu’iyah) semaksimal mungkin di satu sisi, dan menemukan kesinambungan (istimraiyah) dengan tradisi kaum muslim di masa kini pada sisi yang lain. Langkah pertama yang dilakukan adalah memisahkan yang dibaca dari pembacanya (fashl al’maqru an al-qari). Sedangkan langkah kedua adalah dengan cara menghubungkan pembaca dengan yang dibaca (washl al-qari ba al-maqru). Dengan cara demikian diharapkan akan ditemukan pembaruan berdasarkan otentitas (al-ashalah), yakni suatu ijtihad yang tetap berpijak pada kesinambungan dengan tradisi, tanpa harus terbenam dalam tradisi itu sendiri. Singkatnya, yang dilakukan pembaca adalah rekosntruksi sekaligus fungsionalisasi atau pengambilan manfaat (al-tawzhif wa al-istmirar).

Kritik nalar juga menjadi perhatian sayap ketiga ini, karena kondisi Islam sebenarnya merupakan hasil dari nalar berpikir atau epistemologi pemikiran Islam. Dalam hal ini kaum dekonstruksionis seperti al-Jabiri menunjukkan kerangka umum dari berbagai epistemologi dalam pemikiran Arab Islam yang mendominasi praktek kehidupan umat Islam hingga hari ini. Menurut al-Jabiri ada tiga nalar yang secara umum dipakai oleh masyarakat Arab Islam, yaitu deskriptif (bayani), demonstratif (burhani) dan gnostik (irfani). Bagi al-Jabiri lebih lanjut menunjukkan bahwa nalar Arab terkungkung oleh nalar deskriptif (bayani), yang mondar-mandir dan berputar pada tiga kekuasaan, yakni: kekuasaan kata (al-lafzh), kekuasaan asal (al-ashalah) dan kekuasaan serba kemungkinan (al-tajwiz).
Kekuasaan kata misalnya, tampak dalam upaya untuk mengotak-atik jenis kata-kata yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits, apakah ia tunggal atau jamak, apakah ia ungkapan eksplisit (muhkam) ataukah implisit (mutasyabihat), apakah ia tidak terikat atau terikat (mutlak atau muqayyad), apakah ia ‘am atau khas, dan lain sebagainya. Sementara kekuasaan asal misalnya tampak dalam model pemikiran hukum Islam. Nalar Arab Islam selalu terpusat pada perdebatan mengenai posisi dan kedudukan, misalnya apakah ia sebagai sumber pengetahuan (asal, pokok, sumber), atau ia asal sebagai cabang, furu’ atau contoh yang pernah terjadi (seperti dasar analogi atau qiyas untuk memecahkan masalah masa kini yang dianggap hanya sebagai cabang, bukan asal. Sedangkan kekuasaan serba kemungkinan misalnya tampak dalam tidak dikenalnya hukum sebab akibat yang pasti, semuanya selalu berakhir serba mungkin. Ini merupakan akibat pengaruh tologi Asy’ariyah yang menghancurkan hukum sebab-akibat.

Dari realitas pemikiran Islam sebagaimana di atas, menurut al-Jabiri yang paling tepat adalah mengambil tradisi demonstratif (burhani), yaitu tradisi yang berwatak rasional seperti yang telah dikembangkan oleh Ibn Hazm, Ibn Rusyd, As-Syatibi dan Ibn Khaldun. Epitsmologi yang dikembangkan oleh para pemikir ini adalah rasional dan empiris dan karenanya berwatak ilmiah. Inilah yang oleh para pemikir garda depan Islam post-tra dianggap sebagai pilihan yang tepat untuk mengatasi keterbatasan akibat kungkungan kekuasaan dalam pemikiran Islam tradisional. Dari kritik epistemologi inilah, kemudian Islam post-tra berusaha mengusung dan mengembangkan gagasan rasionalisme Ibn Rusyd yang begitu tepat mendudukkan agama dan filsafat secara proporsional. Juga meninggalkan analogi (qiyas) sembari mengusulkan untuk beralih kepada maqashid al-syariah sebagaimana yang dikembangkan As-Syatibi.

Secara umum tujuan syariat adalah kemaslahatan manusia, oleh karena itu As-Syatibi kemudian merumuskan tiga jenis kemaslahatan: dharuriyah (elementer), hajjiyah (komplementer) dan takmiliyah (suplementer). Dari ketiga rumusan maslahah inilah, menurut hemat saya, tugas para pemikir Islam saat ini adalah merumuskan kembali secara rasional mengenai tujuan-tujuan syari’ah sesuai dengan tuntutan zaman dengan berpijak pada apa yang telah digariskan oleh As-Syaitibi. Saya melihat apa yang digariskan oleh As-Syatibi cukup memungkinkan untuk pengembangan yang lebih luas, sesuai dengan situasi, ruang, dan waktu. Dengan cara inilah Islam bisa mengapresiasi isu-isu kontemporer seperti HAM, demokrasi, keadilan gender, kemiskinan, dll.




D. Penutup

Dengan prinsip-prinsip dan metode moderasi itulah dalam perjalanan sejarahnya, Islam, menjadi “agama yang hidup” yang berlayar menyeberang meninggalkan tempat, tradisi asalnya, dan waktu lampau, juga meninggalkan sang pembawa (nabi). Berlayarnya Islam akhirnya menemukan tempat, tradisi lain, dan waktu yang berbeda dengan tradisi di mana ia hadir untuk pertama kalinya. Dengan demikian, klaim Islam murni tampaknya juga tidak memiliki legitimasi historis dan kultural yang kuat. Secara historis Islam bukan hanya merevisi ajaran-ajaran sebelumnya, tetapi lebih dari itu juga mempertahankan sebagian tradisi yang telah berkembang sebelumnya. Ia tidak bedanya dengan manusia, yang juga lahir dari lingkungan adat dan kulturalnya masing-masing. Kebudayaan setempat dimana seseorang itu lahir dan dibesarkan berpengaruh terhadap inkulturasi dan akulturasi keberagamaan seseorang. Oleh karenanya, secara jujur sulit diterima pernyataan yang mengatakan bahwa seseorang bisa beragama secara murni tanpa dibentuk oleh lingkungan kulturalnya. Sebaliknya apa yang dihayati oleh pemeluk suatu agama tidak lain adalah akumulasi tradisi keberagamaan.

Dengan kenyataan inilah agama yang dipraktekkan oleh manusia kemudian menjadi identik dengan tradisi itu sendiri. Agama adalah ekspresi budaya tentang keyakinan orang terhadap sesuatu Yang Suci, Yang Transenden, dan Yang Maha Kuasa. Apabila hubungan agama dan tradisi ditempatkan sebagai wujud interpretasi sejarah dan kebudayaan, maka semua domain agama adalah kreatifitas manusia yang sifatnya sangat relatif. Dengan kata lain, kebenaran agama yang diyakini setiap orang sebagai yang “benar” pada dasarnya merupakan sebatas sesuatu yang bisa ditafsirkan dan diekspresikan oleh manusia yang bersifat relatif atas “kebenaran” Tuhan yang absolut (Abdurrahman, 2003: 150).

Oleh karena itu, apapun bentuk yang dilakukan oleh setiap manusia untuk mempertahankan, memperbaharui atau memurnikan tradisi agama, tetap saja harus dipandang sebagai pergulatan dalam dinamika sejarah umat beragama itu sendiri. Pergulatan tentu saja adalah fenomena yang biasa dalam sejarah manusia. Dengan demikian, pergulatan semacam ini tidak harus memperlihatkan bahwa yang satu berhak menegasikan “kebenaran” yang diklaim oleh yang lain dengan menyatakan kebenaran yang dimilikinya sebagai “yang paling benar”.

Dalam kerangka tersebut di atas, Islam misalnya, juga harus dipandang sebagai agama yang akan terus hidup di dalam dan melalui proses pergulatan sejarah dan kebudayaan pemeluknya. Dengan kata lain “Islamisasi” mesti dipandang sebagai proses sejarah dan akulturasi dimana-mana.
Islam moderat yang terbuka dalam pemikiran keagamaan dan inklusif secara kultural serta konsisten meneguhkan perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dengan melawan ketidakadilan itulah Islam yang dapat menjadi pemandu bagi upaya penciptaan Indonesia yang demokratis dan berkeadaban.



Wallahu a’lam bi al-shawab


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Moeslim, (2003) Islam Sebagai Kritik Sosial, Jakarta, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Abduh, Muhammad/Ridha Rasyid, 1373, Al-Manar, Dar al-Manar
al-Jabiri, Muhammad Abid, (2000), Post Tradisionalisme Islam, Ahmad Baso (terj), Yogyakarta, LKiS
————, (1995) al-Turats wa al-Hadatsah, Dirasah wa Munaqasah, Bairut al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi.
————, (1986), Nahnu wa al-Turats, Qira’at Muashirah fi Turasatina al-Falsafi, Dar al-Baidah, al-Markaz ats-Tsaqafi al-Arabi.
Al-Razi. Imam Fakhrudin, (1985), Tafsir al-Kabir, Juz I, Beirut, Maktabah Dar al-Fikr
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, (2008) Tafsir At-Thabari,Jilid I, Jakarta: Pustaka Azzam.
Faris, Ibn, tt. Mu’jam Maqayis al-Lughah, 1
Hamid , Tawfik, “Don’t Gloss Over The Violent Texts” , Wall Street Journal, 1/9/2010).
Hamka, Tafsir Al-zhar, Juz I, 2008, Jakarta, Pustaka Panimas
Hanafi, Hasan, (1992) al-Turats wa al-Tajdid, Mauqifuna min al-Turats al-Qadim, Beirut, al- Muassasah al-Jami’ah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi, Beirut.
Shihab, M. Quraish, (2002), Tafsir Al-Misbah, Vol I, Jakarta, Lenter Hati.

Tak Terlibat ISIS, Ini Pernyataan Lengkap Pertemuan Alumni Suriah IV

Jakarta, NU Online
Sejumlah alumni perguruan tinggi dan ma’had di Suriah yang berasal dari Indonesia mengadakan pertemuan di Jakarta, Sabtu-Ahad (28-29/3). Mereka memastikan tidak ada alumni yang terlibat dalam kelompok teroris ISIS yang berpusat di Suriah dan Irak.
Pertemuan juga dihadiri sejumlah warga dan pengajar asal Suriah. Berikut ini bunyi lengkap rekomendasi pertemuan alumni tersebut:
--
Pada acara pertemuan dan silaturahim nasional yang ke-4, dilaksanakan di Villa SM. Cisarua Bogor tanggal 28-29 Maret 2015, kami perhimpunan alumni pelajar Indonesia di Suriah (al-Syami) menyatakan:
  1. Mengecam setiap tindakan yang dilakukan pihak-pihak yang berkonflik, yang menciderai nilai-nilai agama dan kemanusian.
  2. Perhimpunan alumni pelajar Indonesia di Suriah tidak pernah bergabung, mendukung atau berafiliasi dengan kelompok-kelompok teroris dan separatis apa pun di Suriah.
Pertemuan dan silaturahim juga mengeluarkan rekomendasi sebagai berikut:
  1. Mendorong pemerintah Indonesia, dalam hal ini presiden melalui kementerian luar negeri, untuk berperan aktif dalam proses perdamaian di Suriah.
  2. Mendukung sepenuhnya sikap pemerintah Indonesia agar terus bersikap netral dalam menyikapi konflik di Suriah dan selalu mengedapankan human security.
  3. Aktivitas Indonesia dalam mendukung terwujudnya perdamaian di Suriah hendaknya dilandasi dengan keyakinan bahwa dialog dan pemilu serta solusi politik merupakan cara terbaik dalam penyelesaian konflik, bukan solusi militer.
  4. Memohon pemerintah Indonesia untuk turut serta dalam membantu penanganan korban konflik dalam bentuk misi-misi kemanusian.
  5. Mendukung organisasi dan lembaga kemanusian dan perdamaian, baik lokal maupun internasional, sebagai second track diplomacy, untuk terus mengusahakan masuknya bantuan-bantuan kemanusian yang strategis, agar tidak terjadi konflik yang terus berkepanjangan.
  6. Meminta pers media agar tidak mengaitkan peristiwa dan aktor pertikaian dan teror di Suriah dan Timur Tengah secara umum dengan aliran atau agama Islam.

Red: A. Khoirul Anam

Antitesis NIIS

Pergerakan ribuan pendukung Negara Islam Irak dan Suriah dari pelbagai negara menuju zona perang di Timur Tengah itu telah menimbulkan kecemasan luar biasa. Potensi ancamannya akan jauh lebih eskalatif dibandingkan dampak Perang Afganistan dan Irak.

Diperkirakan hingga kini ada 200.000 warga negara asing yang telah bergabung dengan pasukan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS). Di antara mereka adalah warga negara Indonesia yang menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme jumlahnya mencapai 300 orang. Sekadar perbandingan, The Derwin Pereira Indonesia Initiative memperkirakan 200 orang.

Negara-negara Eropa, Amerika, Australia, dan Asia merasakan ancaman serius seiring dengan peningkatan mobilitas ini. Hal ini tecermin dalam pertemuan Global Counter-terrorism Forum (GCTF) di Washington DC, 23-24 Februari 2015. Penulis yang berkesempatan dua kali hadir dalam forum itu menangkap jelas pergeseran topik perbincangan dibandingkan tahun 2013.

Semua kasus yang dipresentasikan para pembicara merujuk pada tantangan ekstremisme dan ancaman terorisme dari individu dan kelompok yang mengidentifikasikan aksinya sebagai bentuk jihad. Yang sangat mengkhawatirkan, mayoritas relawan asing pro NIIS masih muda, rata-rata di bawah usia 24 tahun.

Dilaporkan, tiga remaja perempuan asal London telah terbang menuju wilayah kekuasaan NIIS melalui Turki. Minggu lalu, otoritas Amerika menangkap tiga orang yang diduga akan berangkat bergabung dengan NIIS. Ini lampu merah untuk masa depan generasi muda. Semua negara peserta GCTF sepakat, negara tidak bisa sendirian mengatasi, bahkan mengantisipasi gelombang dukungan warga negara masing- masing terhadap NIIS.

Dibutuhkan sinergi dan pendekatan berbasis komunitas dengan melibatkan partisipasi tokoh-tokoh kunci lintas sektoral di tingkat lokal. Gerakan prakarsa lokal semacam ini bekerja memproduksi narasi-narasi yang menegasikan diskursus kebencian dan kekerasan.

Berawal dari Afganistan

Fenomena ribuan orang menuju wilayah Irak dan Suriah demi mendukung kelompok yang mengklaim sedang berjihad mendirikan khilafah bukanlah hal baru. Perang Afganistan merupakan pendahulunya. Para pentolan generasi awal Jemaah Islamiyah di Indonesia adalah didikan Akademi (Militer) Mujahidin di Afganistan. Mereka lari meninggalkan Tanah Air karena direpresi Orde Baru dan bertepatan gejolak di Afganistan di mana seruan berjihad melawan Uni Soviet dikumandangkan.

Pasca Afganistan, rentetan teror bom menghantui banyak kota Indonesia sepanjang 2000 hingga 2005, termasuk Bom Bali 1 dan 2. Aktor utama dari aksi-aksi teror itu adalah mereka yang pernah pergi ke Afganistan seperti diungkapkan Nasir Abas (2005).

Mobilitas ratusan ribu relawan perang ke daerah-daerah konflik telah dipahami sebagai bentuk pengejawantahan semangat "kepahlawanan" (mujahadah) yang berporos pada dua konsep kunci, yaitu hijrah (secara fisik berarti berpindah ke tempat yang dianggap memenuhi kondisi ideal perjuangan) dan jihad (berjuang sungguh-sungguh mewujudkan kondisi ideal).

Pada level mikro, hijrah dipraktikkan dalam bentuk mobilitas antarkota dan antarpulau. Kasus pengiriman Laskar Jihad dari Yogyakarta ke Ambon saat konflik pecah tahun 2000 adalah contohnya. Keberangkatan ratusan relawan Muslim Indonesia untuk ikut berperang bersama NIIS mencerminkan mobilitas itu pada konteks makro. Roxanne Euben (2006) menyebut fenomena pertama sebagai "mobile Muslim at home" dan "mobile jihadist" untuk yang kedua.

Belajar dari pengalaman pasca Afganistan di atas, sangat beralasan jika solidaritas dan dukungan terhadap NIIS dari warga Indonesia merupakan bom waktu. Arus balik para mantan relawan perang nanti akan sangat membahayakan stabilitas keamanan dan mengoyak kebinekaan negeri Pancasila ini.

Tindakan penyadaran dan pencegahan menjadi sangat mendesak. Mereduksi kompleksitas NIIS dalam bingkai konflik sektarianisme Sunni dan Syiah jelas menyesatkan. Namun, sudut pandang inilah yang terus dipropagandakan kelompok-kelompok anti Syiah. Belakangan, gejala membenturkan antar-kelompok keagamaan kian menggelisahkan.

Kebinekaan

Salah satu titik temu ideologi NIIS dengan gerakan-gerakan garis keras lain adalah klaim monopoli tafsir atas Islam, termasuk dalam memahami hukum dan sistem politik. Manifestasi ekstrem cara pandang hitam-putih ini adalah budaya mengafirkan dan menyesatkan pihak lain yang dipandang berbeda. Padahal, tradisi pemahaman hukum Islam berwatak pluralistik. Ada banyak mazhab pemikiran dan hukum sepanjang sejarah perkembangan Islam. Dalam membahas persoalan-persoalan hukum Islam yang lebih operasional (fikih), biasanya akan disampaikan pandangan mayoritas dan minoritas. Model ini mengisyaratkan bahwa sikap menghargai perbedaan sangat dijunjung tinggi dalam tradisi kesarjanaan Islam.

Hemat penulis, mengaktualisasikan pandangan keagamaan dalam kesadaran kebinekaan tidak hanya sejalan dengan tradisi pluralisme hukum Islam. Lebih dari itu, langkah ini akan menjadi antitesis terhadap monopoli tafsir dan kerentanan menyesatkan pihak lain yang selama ini menjadi karakter ideologi NIIS dan sejenisnya. Reaktualisasi pemahaman keagamaan dengan mempertimbangkan dimensi kebinekaan akan menguji relevansi bahkan memperbarui pemaknaan atas konsep-konsep kunci seperti hijrah, jihad, dan kepemimpinan.

NIIS telah sangat vulgar mempraktikkan ketiga konsepsi itu secara hegemonik, ekstrem, dan eksklusif. Memperkuat narasi-narasi keagamaan inklusif salah satu cara yang dapat menegasikan pandangan-pandangan hegemonik.

Pentingnya memperkuat diskursus keagamaan dalam bingkai kebinekaan guna membendung sektarianisme, ekstremisme, dan diskriminasi terhadap minoritas menjadi perbincangan dalam Halaqoh Fikih Kebhinekaan pada 24-26 Februari lalu.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang hadir dalam acara tersebut menggarisbawahi urgensi Fikih Kebhinekaan dalam konteks masyarakat majemuk Indonesia yang mudah dilanda konflik, termasuk mengakui kepemimpinan dari kalangan mana pun selama berintegritas, kapabel, dan adil.

Indonesia sudah seharusnya berada di garda depan memproduksi diskursus-diskursus keagamaan yang akomodatif terhadap kebinekaan. Kehadiran kelompok-kelompok yang menyetujui dan mendukung praktik-praktik NIIS akan menjadi kanker ganas bagi kebinekaan bangsa. Ada beban moral dan tuntutan sejarah di pundak masyarakat Muslim Indonesia mengingat 1/6 populasi Muslim dunia hidup di Indonesia.

Tuntutan akan sulit terpenuhi jika bangsa terseret ke dalam pusaran konflik-konflik politik keagamaan yang berketiak ular, mengalami pendangkalan nasionalisme, dan menderita ketimpangan ekonomi luar biasa. Inilah kondisi-kondisi yang menggerogoti bangunan kebangsaan kita. Pemerintah sudah saatnya mengakhiri peran pemadam kebakaran yang sering terlambat, bahkan gagal mengantisipasi.

FAJAR RIZA UL HAQ
DIREKTUR EKSEKUTIF MAARIF INSTITUTE


Kompas Cetak | 6 Maret 2015

http://maarifinstitute.org/id/opini/181/antitesis-niis--#.VRlWgfysVA4

Fragmen Kaum Fundamentalis

http://www.caknun.com/2013/fragmen-kaum-fundamentalis

Tempat pertemuan itu dikepung satuan-satuan Polisi dan Tentara yang jumlahnya seperti sedang ada perang. Di sebuah halaman luas di tepi sebuah jalan besar. Remang-remang. Lampu-lampu tidak mencukupi untuk luasnya halaman. Saya tidak tahu apakah keremangan ini disengaja untuk menggambarkan suasana hati mereka, ataukah memang fasilitasnya tidak mencukupi
Sekitar 400 orang duduk bersila, berpakaian sangat melambangkan model dan warna Islam. Suasana sepi dan tegang. Penuh duka dan keperihan. Tidak ada senyuman, apalagi suara tertawa. Mereka sedang tegang menghitung jam demi jam sampai besok pagi mereka mendengar apa keputusan hakim atas Ustadz mereka.
Saya diundang untuk berbicara dan ditugasi untuk meredakan amarah orang-orang itu. Meneduhkan hati mereka, menawarkan kepada mereka langkah-langkah yang tingkat kemudharatan politiknya ditekan serendah mungkin tanpa kehilangan prinsip dan militansi.
Sebagaimana lazimnya orang Islam berpidato, saya memulai dengan salam, shalawat kepada Nabi Muhammad dan mengutip satu dua firman Allah. Kemudian saya memberanikan diri memulai dialog:
“Apakah kesunyian suasana di forum ini disebabkan karena Anda semua merasa tidak punya teman dalam perjuangan Anda?”
Seseorang spontan menjawab: “Allahu Akbar!”. Kemudian disusul serempak mereka semua meneriakkan: “Allahu Akbar!”
Saya tahu “Allahu Akbar” dalam nuansa itu berarti “Ya”.
“Berarti Anda Muslim sejati”, kata saya, “Rasulullah Muhammad SAW mengatakan Islam dimulai dari keterasingan dan akan kembali dan kembali lagi ke keterasingan. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing dan kesepian, karena itu pertanda Tuhan dekat di sisi mereka”
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Saya meneruskan pertanyaan: “Apakah Anda semua berwajah tegang karena Anda sedang menemukan diri Anda berada di bawah tekanan dan penindasan?”
“Allahu Akbar!”
“Di bawah suatu kekuasaan yang lalim?”
“Allahu Akbar!”
“Yang memperlakukan Anda secara sangat tidak adil?”
“Allahu Akbar!”
“Penuh kebohongan dan manipulasi?”
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Kemudian sengaja saya diam sejenak, suasana saya biarkan tanpa suara. Sampai kemudian tatkala saya merasa sudah saatnya harus diberi suara lagi, sayapun meneruskan:
“Demi Allah perkenankanlah saya memberi saran kepada Anda semua, hendaklah Anda mencintai orang-orang yang menindas Anda, yang melalimi Anda, yang berbuat tidak adil kepada Anda….”
Sampai di sini tidak saya dengar “Allahu Akbar”. Saya teruskan:
“Saudara-saudaraku, hanya orang yang lemah yang merasa perlu menindas orang lain, karena mereka butuh kepercayaan diri bahwa ia kuat. Hanya orang yang merasa dirinya tidak aman yang berbuat lalim kepada orang lain, karena ia meyakini bahwa orang yang berhasil dilaliminya pastilah tidak mampu membuatnya tidak aman. Demi Allah cintailah dan kasihanilah orang-orang semacam ini, karena hanya itu cara untuk menunjukkan bahwa Anda semua berjiwa besar….”
Terdengar “Allahu Akbar!”, kemudian bersusul-susulan “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Terus terang saya merasa lega dengan jawaban itu.
Saya coba meneruskan: “Orang yang berjiwa besar tidak akan membiarkan dirinya ditekan oleh kesedihan, ketegangan atau rasa frustrasi. Bukankah benar demikian, saudara-saudaraku?”
“Allahu Akbar!”
“Saudara-saudaraku tegakkan kepala karena Allah menganugerahi kalian jiwa besar!”
Astaga – meskipun tidak serempak, mereka benar-benar menegakkan kepala.
“Acungkan tangan ke atas untuk menunjukkan kegembiraan dan rasa syukur saudara-saudaraku kepada Allah yang menganugerahi kalian kebesaran jiwa!”
Allahu Akbar, sekarang saya yang bilang Allahu Akbar – mereka benar-benar mengacungkan tangan mereka ke atas,
“Farhan!” teriak saya selanjutnya.
“Farhaaaan!”, semua menirukannya.
Farhan artinya gembira bahagia.
Saya terus mengejar: “Besok Ustadz Anda divonis oleh Pengadilan Negara. Apakah Anda menyongsongnya dengan menundukkan kepala ataukah menegakkan kepala?”
“Allahu Akbar!”, serempak mereka sambil menegakkan kepala.
“Dengan rasa frustrasi atau semangat juang?”
“Allahu Akbar!”
Saya menyambungnya: “Allahu Akbar! Allahu Akbar!…..” – kemudian saya fade in ke Allahu Akbar yang dilagukan, yang rata-rata mereka hapal lagu itu….
Allahu Akbar, betapa gembira wajah mereka.
Setelah lagu usai, saya meneruskan: “Saudara-saudaraku, apakah Anda ingin Ustadz dihukum ataukah dibebaskan?”
“Bebas!” – untuk pertama kalinya terdengar kata yang bukan Allahu Akbar.
“Kekuasaan yang mengadili Ustadz ini kekuasaan yang prinsip nilainya sama dengan prinsip nilai Anda atau tidak?”
“Tidak sama!”  terdengar suara serempak.
“Bertentangan!” seseorang menyambung.
“Jadi Anda minta kepada penguasa yang tidak seprinsip dengan Anda itu agar Ustadz dibebaskan?”
“Allahu Akbar!”
“Anda meminta kebebasan kepada musuh Anda?”
Tidak ada jawaban.
“Anda meminta-minta kepada musuh Anda?”
Tetap diam.
“Mana yang lebih membanggakan dan bermartabat: dibunuh dalam kegagahan oleh lawan, ataukah Anda minta agar tak dibunuh oleh lawan?”
Semakin diam.
“Bisakah pikiran sehat Anda membayangkan bahwa kekuasaan yang bertentangan prinsipnya dengan prinsip Anda akan membebaskan beliau?”
Teruuus diam.
“Mana yang Anda pilih: martabat atas prinsip ataukah keselamatan hidup tanpa prinsip?”
Tetap tak ada sahutan.
“Kita memilih hidup hina atau mati mulia? Saudara-saudaraku, demi Allah harus saya katakan bahwa Ustadz sendiri tidak sedikitpun bermimpi, berpikir atau apalagi meminta untuk dibebaskan. Ketika beliau ditangkap di Rumah Sakit, beliau berteriak-teriak: Tembak saya! Tembak saya! — Apakah para muridnya akan mengucapkan kata yang bertentangan dengan itu: Bebaskan saya! Bebaskan saya!?”
Saya terus memberanikan diri meneruskan: “Ustadz menyatakan kepada saya bahwa kalau ia dipenjarakan, berarti cuti atau liburan. Kalau beliau dibuang ke pulau terpencil yang jauh, berarti piknik. Kalau beliau ditembak mati, berarti syahid. Beliau beserta semua anggota keluarganya sudah ikhlas dengan kemungkinan-kemungkinan itu. Kenapa saudara-saudaraku di sini tidak ikhlas?”
Sampailah saya ke ujung pembicaraan: “Dan demi Allah perkenankan saya mengatakan kepada saudara-saudaraku di sini bahwa selama berada dalam tahanan, Ustadz tidak pernah satu detikpun tampak kesedihan di wajahnya. Beliau bergembira. Beliau bangga dengan apa yang dialaminya. Keyakinan dan perjuangan selalu sangat luas dan agung, seluas alam semesta dan seagung Penciptanya. Sedangkan kematian hanyalah kerikil kecil yang kaki kita nanti terantuk olehnya. Beliau bergembira! Beliau bangga!”
Kemudian saya bernyanyi lagi. Dengan lambaian tangan saya mengajak mereka semua bernyanyi. Meskipun pelan-pelan, akhirnya semua turut bernyanyi, bertepuk tangan….